Kamis, 29 Juli 2010

“Jangan Lupa Tujuan Pendidikan”

Di tengah jeritan banyak orang yang kesulitan biaya pendidikan, muncul kebijakan membuat patung-patung di berbagai tempat. Baca CAP Adian Husaini ke-287

Oleh: Dr. Adian Husaini*

PADA Hari Senin (12/7/2010), anak-anak sekolah kembali ke bangku sekolah, setelah menjalani libur panjang. Sebagian mereka adalah murid-murid yang menapaki jenjang pendidikan baru. Sebagian lain, hanya menjalani kenaikan kelas. Dalam situasi seperti ini, meskipun sudah pernah kita singgung sebelumnya, ada baiknya, kita semua – terutama orang tua dan guru – benar-benar menyadari apa tujuan sebenarnya dari sebuah proses pendidikan menurut pandangan Islam.

Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, dalam bukunya, Islam and Secularism, (Kuala Lumpur, ISTAC, 1993), merumuskan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk menghasilkan orang yang baik (to produce a good man). Kata al-Attas, “The aim of education in Islam is therefore to produce a goodman… the fundamental element inherent in the Islamic concept of education is the inculcation of adab.” (hal. 150-151).

Siapakah manusia yang baik atau manusia beradab itu? Dalam pandangan Islam, manusia seperti ini adalah manusia yang kenal akan Tuhannya, tahu akan dirinya, menjadikan Nabi Muhammad saw sebagai uswah hasanah, mengikuti jalan pewaris Nabi (ulama), dan berbagai kriteria manusia yang baik lainnya. Manusia yang baik juga harus memahami potensi dirinya dan bisa mengembangkan potensinya, sebab potensi itu adalah amanah dari Allah SWT.

Ilmu Bukan Sekedar Teori



Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi

Artikel www.muslim.or.id


Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Tidaklah sampai kepadaku suatu hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melainkan aku pasti beramal dengannya.”

Amr bin Qais al-Mala’i rahimahullah berkata, “Apabila sampai kepadamu hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka beramallah dengannya meskipun hanya sekali agar kamu termasuk penganutnya.” Syaikh Abdurrazzaq berkata, “Maksud ucapan beliau; beramallah dengannya meskipun hanya sekali, adalah dalam perkara sunnah dan amalan yang dianjurkan sedangkan dalam perkara wajib maka tidak cukup mengamalkannya sekali kemudian bisa disebut sebagai penganutnya.” (lihat Tsamrat al-’Ilmi al-’Amal karya Syaikh Dr. Abdurrazzaq al-Badr, hal. 27)

Jangan tertipu dengan amalmu!

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan ingatlah tatkala Ibrahim membangun pondasi Ka’bah dan juga Isma’il, mereka berdua berdoa; ‘Wahai Rabb kami terimalah amal kami’.” (QS. al-Baqarah: 127). Wuhaib bin al-Ward rahimahullah ketika membaca ayat ini maka ia pun menangis dan berkata, “Wahai kekasih ar-Rahman! Engkau bersusah payah mendirikan pondasi rumah ar-Rahman, meskipun demikian engkau merasa khawatir amalmu tidak diterima!” (lihat Tsamrat al-’Ilmi al-’Amal, hal. 17)

Jadilah contoh yang baik!

Malik bin Dinar rahimahullah berkata, “Sesungguhnya seorang alim/ahli ilmu apabila tidak mengamalkan ilmunya maka nasehatnya akan luntur dari hati sebagaimana aliran air hujan yang melintasi bongkahan batu.” al-Ma’mun pernah berkata, “Kami lebih membutuhkan nasehat dengan perbuatan daripada nasehat dengan ucapan.” Syaikh Abdurrazzaq menceritakan: Suatu saat aku mengunjungi salah seorang bapak yang rajin beribadah di suatu masjid yang dia biasa sholat di sana. Beliau adalah orang yang sangat rajin beribadah. Ketika itu dia sedang duduk di masjid -menunggu tibanya waktu sholat setelah sholat sebelumnya- maka akupun mengucapkan salam kepadanya dan berbincang-bincang dengannya. Aku pun berkata kepadanya, “Masya Allah, di daerah kalian ini banyak terdapat para penuntut ilmu.” Dia berkata, “Daerah kami ini!”. Kukatakan, “Iya benar, di daerah kalian ini masya Allah banyak penuntut ilmu.” Dia berkata, “Daerah kami ini!”. Dia mengulangi perkataannya kepadaku dengan nada mengingkari. “Daerah kami ini?!”. Kukatakan, “Iya, benar.” Maka dia berkata, “Wahai puteraku! Orang yang tidak menjaga sholat berjama’ah tidak layak disebut sebagai seorang penuntut ilmu.” (lihat Tsamrat al-’Ilmi al-’Amal, hal. 36-37). Alangkah benar perkataan bapak tua tersebut, Ibnu Umar mengatakan, “Dahulu kami -para sahabat- apabila tidak menjumpai seseorang pada jama’ah sholat subuh dan isyak maka kami pun menaruh prasangka buruk kepadanya -jangan-jangan dia munafik, pent-.” (HR. Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir dll, lihat Tsamrat al-’Ilmi al-’Amal, hal. 37).

Bukankah tolabul ilmi amalan yang utama?

Abdullah bin al-Mu’taz rahimahullah berkata, “Ilmu seorang munafik itu terletak pada ucapannya, sedangkan ilmunya seorang mukmin terletak pada amalnya.” Sufyan rahimahullah pernah ditanya, “Menuntut ilmu yang lebih kau sukai ataukah beramal?”. Maka beliau menjawab, “Sesungguhnya ilmu itu dimaksudkan untuk beramal, maka jangan kau tinggalkan menuntut ilmu dengan alasan beramal, dan jangan kau tinggalkan amal dengan alasan menuntut ilmu.” (lihat Tsamrat al-’Ilmi al-’Amal, hal. 44-45).

Ya Allah, jadikanlah ilmu kami hujjah untuk membela kami, bukan hujjah yang menjatuhkan kami….

Sabtu, 24 Juli 2010

Dunia Baru.......

Assalamu'alaikum
Goresan pertamaku di dunia maya kumulai hari ini Sabtu, 24 Juli 2010 pukul 21:19 WIB.....,
dunia baru bagiku......
semoga bisa memberikan manfaat,,,,,,

Semoga menjadi tumahan dan curahan .........
Wassalamu'alaikum
 

Blogger news

Blogroll

About