Diperkirakan bahwasanya kemungkinan besar hari raya Idul Fitri tahun ini jatuh bertepatan dengan hari Jum’at jika merujuk kepada hasil perhitungan ilmu hisab falaki, sebab diperkirakan tinggi hilal pada waktu itu sudah 3 derajat lebih (dimana hal tersebut sudah di atas batas minimal bulan bisa terlihat (imkanur ru’yah) yaitu 2 derajat.) Meskipun demikian jika berpatokan kepada keputusan pemerintah maka hal tersebut perlu dilakukan ru’yatul hilal terlebih dahulu untuk memastikan bahwasanya bulan benar-benar bisa terlihat.
Lalu bagaimanakah jika hal tersebut terjadi? Apakah ketika seseorang telah
melaksanakan shalat Id pada hari tersebut maka secara otomatis kewajiban shalat
Jum’atnya gugur?
Gambaran Masalah
Dalam hal ini secara umum para ulama berbeda pendapat antara yang
berpendapat bahwasanya kewajiban shalat Jum’at tidak gugur dengan yang
berpendapat kewajiban shalat Jum’at gugur dan bisa diganti dengan shalat
dhuhur.
Yang berpendapat tidak gugur pun terbagi menjadi dua kelompok, antara yang
berpendapat tidak gugur bagi semua orang dan yang berpendapat tidak gugur
kecuali bagi penduduk yang tinggal di kampung atau desa yang tidak memiliki
masjid jami’ yang digunakan untuk shalat Jum’at, sehingga ketika shalat Jum’at
atau shalat Id mereka harus datang ke kampung lain yang terdapat masjid jami’
di sana.
Sebab Perbedaan Pendapat
Salah satu sebab perbedaan pendapatnya adalah karena perbedaan pemahaman
dan penshahihan terhadap hadits dan atsar berikut ini :
Dari Iyas bin Abi Ramlah Asy-Syami dia berkata,
«شَهِدْتُ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ وَهُوَ يَسْأَلُ
زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ: أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ عِيدَيْنِ اجْتَمَعَا فِي يَوْمٍ؟ قَالَ:
نَعَمْ، قَالَ: كَيْفَ صَنَعَ؟ قَالَ: صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِي
الْجُمُعَةِ فَقَالَ: مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيُصَلِّ».
”Aku menyaksikan Mu’awiyah bin Abi Sufyan ketika beliau bertanya kepada
Zaid bin Arqam –radhiyallahu ’anhum-, ”Apakah engkau pernah menyaksikan bersama
Rasulullah –shallalahu ’alahi wa salam- ketika ada dua hari raya (Id dan
Jum’at) yang bersamaan dalam satu hari?” ”Iya benar” ”Lalu apa yang beliau
lakukan.” ”Beliau shalat Id kemudian memberikan keringanan dalam shalat Jum’at,
lalu bersabda, ”Bagi siapa yang ingin tetap shalat Jum’at maka silahkan
shalat.”[1]
Adapun hadits kedua adalah yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwasanya
bersabda,
وعن أبي هريرة رضي الله عنه
عن النبي صلى الله عليه وآله وسلم قال: «قَدِ اجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا
عِيدَانِ فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنَ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا مُجْمِعُونَ». رواه
أبو داود وابن ماجه والحاكم.
”Telah berkumpul pada hari ini dua hari raya, maka siapa yang berkehendak
(untuk hanya melaksanakan shalat Id) maka hal tersebut sudah cukup baginya
meskipun tidak mengikuti shalat Jum’at. Tetapi kami tetap akan melaksanakan
shalat Jum’at.”[2] ()
Bagi yang berpendapat gugur berdalil dengan dua hadits di atas. Namun yang
berpendapat tidak gugur secara mutlak karena berdalil dengan keumuman wajibnya
shalat Jum’at di hari apapun, adapun riwayat yang disebutkan tadi derajatnya
tidak shahih. Dan yang berpendapat bahwa rukhsah itu untuk penduduk yang
tinggal di kampung berlandaskan pada dalil pendukung lain yang akan kita bahas
setelah ini.
Lebih rincinya berikut ini pendapat para ulama dalam masalah ini :
Pendapat Para Ulama dalam Masalah Ini
1. Mazhab Al-Hanafiyah
Perlu diketahui dalam
madzhab Al-Hanafiyah hukum melaksanakan shalat ’Id itu wajib ’ain bagi orang
yang memenuhi persyaratannya. Dalam madzhab ini kewajiban shalat Jum’at tidak
gugur ketika bertepatan dengan shalat ’Id yang dilaksanakan pada hari tersebut.
Muhammad bin Ali
Al-Hashkafi (w. 1088 H) salah
satu ulama mazhab Al-Hanafiyah di dalam kitabnya Ad-Durr Al-Mukhtar Syarah Tanwir Al-Abshar wa
Jami’ Al-Bihar menuliskan
sebagai berikut :
(تَجِبُ
صَلَاتُهُمَا) فِي الْأَصَحِّ (عَلَى مَنْ تَجِبُ عَلَيْهِ الْجُمُعَةُ بِشَرَائِطِهَا)
الْمُتَقَدِّمَةِ (سِوَى الْخُطْبَةِ) فَإِنَّهَا سُنَّةٌ بَعْدَهَا،
”Wajib
melaksanakan ke dua shalat ini (shalat Jum’at dan shalat ’Id jika bertepatan
dengan hari jum’at) berdasarkan pendapat yang paling kuat bagi orang yang wajib
melaksanakan shalat jum’at jika telah memnuhi syarat-syaratnya.” [3]
Ibnu Abdin (w.
1252 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah di
dalam kitabnya Radd Al-Muhtar ala Ad-Dur Al-Mukhtar menuliskan sebagai
berikut :
(قَوْلُهُ عَنْ مَذْهَبِ الْغَيْرِ) أَيْ مَذْهَبِ غَيْرِنَا
أَمَّا مَذْهَبُنَا فَلُزُومُ كُلٍّ مِنْهُمَا.
”.....yang
dimaksud dengan perkataan Al-Hashkafi (dari madzhab yang lain –dalam masalah
Idul Fitri bertepatan dengan hari Jum’at- adalah selain madzhab kami, adapun
pendapat resmi dari madzhab kami adalah wajib untuk melaksanakan kedua shalat
ini (shalat ’Id dan Jum’at).[4]
2. Mazhab Al-Malikiyah
Pendapat madzhab Al-Malikiyah dalam masalah ini
kurang lebih sama dengan pendapat madzhab Al-Hanafiyah. Berikut ini rinciannya
:
Sahnun (w. 240 H)
salah satu ulama mazhab Al-Malikiyah dalam kitab Al-Mudawwanah Al-Kubra mengutip
perkataan Imam Malik ketika menjawab pertanyaan sebuah pertanyaan :
مَا
قَوْلُ مَالِكٍ إذَا اجْتَمَعَ الْأَضْحَى وَالْجُمُعَةُ أَوْ الْفِطْرُ أَوْ
الْجُمُعَةُ فَصَلَّى رَجُلٌ مَنْ أَهْلِ الْحَضَرِ الْعِيدَ مَعَ الْإِمَامِ
ثُمَّ أَرَادَ أَنْ لَا يَشْهَدَ الْجُمُعَةَ، هَلْ يَضَعُ ذَلِكَ عَنْهُ
شُهُودُهُ صَلَاةَ الْعِيدِ مَا وَجَبَ عَلَيْهِ مِنْ إتْيَانِ الْجُمُعَةِ؟
قَالَ:
لَا وَكَانَ يَقُولُ: لَا يَضَعُ ذَلِكَ عَنْهُ مَا وَجَبَ عَلَيْهِ مِنْ إتْيَانِ
الْجُمُعَةِ،
“Apa pendapat Imam Malik jika Idul Fitri atau Idul Adha bersamaan
dengan hari Jum’at, kemudian ada salah seorang penduduk kota yang ikut shalat
Id bersama Imam, kemudian dia tidak ingin ikut shalat Jum’at. Apakah keikut
sertaan orang itu dalam shalat ‘Id menggugurkan kewajiban shalat Jum’at
baginya?
Imam Malik menjawab : tidak, beliau juga berkata : hal tersebut
tidak menggugurkan kewajibannya untuk mengikuti shalat Jum’at...”[5]
Ibnu
Rusyd (w. 520 H) salah satu ulama mazhab
Al-Malikiyah di dalam kitab Bidayah Al-Mujtahid menuliskan sebagai berikut :
وَقَالَ
مَالِكٌ وَأَبُو حَنِيفَةَ: إِذَا اجْتَمَعَ عِيدٌ وَجُمُعَةٌ فَالْمُكَلَّفُ
مُخَاطَبٌ بِهِمَا جَمِيعًا: الْعِيدُ عَلَى أَنَّهُ سُنَّةٌ، وَالْجُمُعَةُ عَلَى
أَنَّهَا فَرْضٌ، وَلَا يَنُوبُ أَحَدُهُمَا عَنِ الْآخَرِ،
“Imam Malik dan Abu Hanifah berpendapat bahwasanya jika hari ‘Id
bersamaan dengan hari Jum’at maka seorang mukallaf tetap diberikan kewajiban
untuk melaksanakan kedua shalat tersebut.
Sebab shalat Id hukumnya sunnah sedangkan shalat Jum’at hukumnya
wajib, dan salah satu shalat ini tidak bisa menggantikan yang lain “.[6]
3. Mazhab Asy-Syafi’i
Dalam madzhab ini dibedakan antara hukum orang yang tinggal
di kota yang dekat dengan masjid dengan penduduk desa yang tinggal jauh dari
masjid. Keringanan boleh tidak shalat Jum’at hanya khusus bagi penduduk yang
tinggal jauh dari masjid saja.
As-Syirazi (w.
476 H) salah satu ulama dalam mazhab Asy-Syafi'iyah di dalam kitabnya Al-Muhaddzab
fi Fiqhi Al-Imam Asy-Syafi’i menuliskan sebagai berikut :
وإن
اتفق يوم عيد ويوم جمعة فحضر أهل السواد فصلوا العيد فجاز أن ينصرفوا ويتركوا
الجمعة لما روي أن عثمان رضي الله عنه قال في خطبته: أيها الناس قد اجتمع عيدان في
يومكم هذا فمن أراد من أهل العالية أن يصلي معنا الجمعة فليصل ومن أراد أن ينصرف
فلينصرف
العبارة
”Jika hari Id bertepatan dengan hari
Jum’at, kemudian para penduduk desa menghadiri dan mengikuti shalat Id
tersebut, dibolehkan bagi mereka setelah itu untuk kembali ke desa dan tidak
mengikuti shalat Jum’at.
Hal ini sebagaimana diriwayatkan
bahwasanya Utsman –radhiyallahu ’anhu berkata dalam khutbahnya, ”Wahai manusia,
telah berkumpul dua hari raya pada hari ini. Maka jika ada penduduk desa
’Aliyah (salah satu desa yang dekat dengan kota Madinah) yang ingin melanjutkan
shalat Jum’at bersama kami hari ini maka silahkan, dan yang ingin kembali ke
desanya (dan tidak mengikuti shalat Jum’at) maka kami persilahkan juga.[7]
An-Nawawi (w.
676 H) yang juga ulama mazhab Asy-syafi'iyah di dalam kitabnya Raudahatu
At-Talibin menuliskan sebagai berikut.
إِذَا وَافَقَ يَوْمُ الْعِيدِ
يَوْمَ جُمُعَةٍ، وَحَضَرَ أَهْلُ الْقُرَى الَّذِينَ يَبْلُغُهُمُ النِّدَاءُ لِصَلَاةِ
الْعِيدِ، وَعَلِمُوا أَنَّهُمْ لَوِ انْصَرَفُوا لَفَاتَتْهُمُ الْجُمُعَةُ، فَلَهُمْ
أَنْ يَنْصَرِفُوا، وَيَتْرُكُوا الْجُمُعَةَ فِي هَذَا الْيَوْمِ عَلَى الصَّحِيحِ
الْمَنْصُوصِ فِي الْقَدِيمِ وَالْجَدِيدِ. وَعَلَى الشَّاذِّ: عَلَيْهِمُ الصَّبْرُ
لِلْجُمُعَةِ.
”Jika hari Id bertepatan dengan hari
Jum’at, kemudian para penduduk desa (yang tinggal di jarak yang bisa mendengar
adzan shalat Id) ikut menghadiri shalat Id pada hari itu, lalu setelah shalat
mereka kembali ke desa mereka meskipun mereka tahu jika mereka melakukannya
maka akan ketinggalan shalat Jum’at, maka hal tersebut tidak mengapa meskipun
pada hari itu mereka tidak mengikuti shalat Jum’at.
Ini adalah pendapat yang shahih dan
tertulis dan qaul Qadim dan Qaul Jadid, meskipun ada pendapat syadz yang tetap
mewajibkan mereka untuk ikut shalat Jum’at.[8]
4. Mazhab Al-Hanabilah
Pendapat resmi madzhab Al-Hanabilah berbeda dengan
tiga madzhab sebelumnya, yaitu ada keringanan secara mutlak bagi orang yang
telah melaksanakan shalat Id, meskipun demikian dia tetap wajib melaksanakan
shalat dhuhur.
Ibnu Qudamah (w.
620 H) ulama dari kalangan mazhab Al-Hanabilah di dalam kitabnya Al-Mughni
menuliskan sebagai berikut :
وَإِنْ
اتَّفَقَ عِيدٌ فِي يَوْمِ جُمُعَةٍ، سَقَطَ حُضُورُ الْجُمُعَةِ عَمَّنْ صَلَّى
الْعِيدَ، إلَّا الْإِمَامَ، فَإِنَّهَا لَا تَسْقُطُ عَنْهُ إلَّا أَنْ لَا
يَجْتَمِعَ لَهُ مَنْ يُصَلِّي بِهِ الْجُمُعَةَ.
“Jika hari Id bertepatan dengan hari Jum’at, maka gugurlah kewajiban
shalat Jum’at bagi orang yang telah melaksanakan shalat Id, kecuali bagi Imam.
Kewajiban shalat Jum’at tidak gugur baginya kecuali jika tidak ada di tempatnya
pada waktu itu orang yang melaksanakan shalat Jum’at.”[9]
Al-Mardawi (w.
885 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanabilah di dalam kitabnya Al-Inshaf
fi Ma'rifati Ar-Rajih minal Khilaf menuliskan sebagai berikut :
(وَإِذَا وَقَعَ
الْعِيدُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَاجْتَزَأَ بِالْعِيدِ وَصَلَّى ظُهْرًا جَازَ)
هَذَا الْمَذْهَبُ بِلَا رَيْبٍ....
”Jika
hari Id bersamaan dengan hari Jum’at, kemudian ada orang yang menyukupkan
shalat Id saja dan mengganti shalat Jum’at dengan shalat dhuhur maka hal ini
boleh dilakukan. Tanpa diragukan lagi ini adalah pendapat resmi madzhab kami.”[10]
5. Mazhab Azh-Zhahiriyah
Menurut madzhab Azh-Zhahiriyah hadits yang
disebutkan di awal pembahasan tadi derajatnya dhaif sehingga tidak bisa
dijadikan dalil untuk rukhsah untuk meninggalkan shalat Jum’at.
Ibnu Hazm (w.
456 H) salah satu tokoh mazhab Azh-Zhahiriyah di dalam kitab Al-Muhalla
bil Atsar menuliskan sebagai berikut :
..وَإِذَا
اجْتَمَعَ عِيدٌ فِي يَوْمِ جُمُعَةٍ: صُلِّيَ لِلْعِيدِ، ثُمَّ لِلْجُمُعَةِ وَلَا
بُدَّ، وَلَا يَصِحُّ أَثَرٌ
بِخِلَافِ ذَلِكَ...
”Jika hari Id bersamaan dengan hari
Jum’at, maka setelah melaksanakan shalat Id tetap berkewajiban melaksanakan
shalat Jum’at juga. Adapun atsar yang dijadikan dalil
yang menyelisihi pendapat ini maka derajatnya tidak shahih…” ”[11]
Demikian uraian perbedaan pendapat para ulama dalam masalah ini,
semoga kita bisa menjadi ummat yang toleran dalam menyikapi perbedaan pendapat
yang sifatnya furuiyyah ini.
Wallahu’alam bisshawab.



Tidak ada komentar:
Posting Komentar