Oleh : Tajun
Nashr Ms.
SIAPAKAH
WANITA AHLI KITAB ITU ?
Yang dimaksud dengan wanita ahli kitab adalah para wanita yang
beriman dengan agama-agama samawi, yaitu para wanita yang beragama Yahudi dan
Nashrani. Atau dengan kata lain mereka adalah orang yang beriman dengan Taurat
atau Injil.[1]
Hal ini
sebagaimana terdapat dalam firman Allah berikut ini yang menceritakan tentang
mereka :
أَنْ
تَقُولُوا إِنَّمَا أُنْزِلَ الْكِتَابُ عَلَى طَائِفَتَيْنِ مِنْ قَبْلِنَا وَإِنْ
كُنَّا عَنْ دِرَاسَتِهِمْ لَغَافِلِينَ
“ (kami turunkan Al-Quran itu) agar
kamu (tidak) mengatakan: "Bahwa kitab itu hanya diturunkan kepada dua
golongan saja sebelum Kami, dan Sesungguhnya Kami tidak memperhatikan apa yang
mereka baca.” (Al-An’am : 156)
Yang
dimaksud dengan dua golongan di atas adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani.
PENDAPAT
PARA ULAMA TENTANG HUKUM MENIKAHI WANITA AHLI KITAB
Dilihat
dari perspektif fiqih terdapat perbedaan pendapat dari para ulama mengenai
hukum menikahi Ahli Kitab.
Secara
umum para ulama ijma’ tentang bolehnya seorang muslim menikahi wanita ahli
kitab. Namun tunggu dulu, ada rincian pendapatnya sebagaimana disebutkan oleh
Dr. Wahbah Az-Zuhaili di kitabnya.
Dalil
yang menjelaskan tentang bolehnya menikahi wanita ahli kitab ini antara lain.
- Firman Allah ta’ala :
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا
الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ
“Pada
hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang
yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi
mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan[402] diantara
wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara
orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu..” (Al-Maidah : 5)
- Perbuatan para sahabat
Para
sahabat dahulu ada yang menikahi wanita ahli kitab, di antaranya :
-
Utsman bin Affan
yang menikahi wanita Nasrani bernama
Nailah bintu Al-Farafashah Al-Kalbiyyah yang kemudian masuk islam di tangannya.
-
Hudzaifah bin
Al-Yaman yang menikah dengan wanita Yahudi penduduk Madain.
-
Selain itu Jabir
pernah ditanya mengenai pernikahan laki-laki muslim dengan wanita Yahudi dan
Nasrani, maka dia menjawab : “Kami menikahi mereka pada zaman Fathu Makkah
di Kufah bersama Sa’ad bin Abi Waqqash.”
Alasan
dibolehkannya menikahi wanita Ahli kitab antara lain
: karena ada hal-hal pokok yang bisa dicari titik temunya, antara mereka dengan
laki-laki muslim. Di antaranya : pengakuan adanya Tuhan, iman kepada para Rasul
dan hari Akhir serta imam kepada hari pembalasan.
Adanya
titik temu dan jembatan penghubung inilah yang pada umumnya bisa menjadi
pondasi kehidupan rumah tangga yang lurus. Selain itu diharapkan dari
pernikahan tersebut akhirnya wanita ahli kitab tadi bisa masuk islam, karena sebenarnya
dia telah beriman kepada Para Nabi dan Kitab-kitab suci secara global.[2]
Jika
ada pertanyaan apa hikmah dibalik dibalik dibolehkannya seorang laki-laki
muslim menikah dengan wanita ahli kitab sementara tidak sebaliknya?
Jawabannya
adalah bahwasanya seorang laki-laki muslim yang kuat iman dan agamanya,
cenderung tidak akan terpengaruh oleh keyakinan dan kebiasaan-kebiasaan
istrinya. Sebaliknya jika suami seorang non-muslim maka dikhawatirkan dia akan
mempengaruhi istrinya yang muslimah dengan agamanya. Sebab tabiat seorang
wanita itu cepat menurut kepada suami dan mudah dipengaruhi. Sehingga hal ini
menyebabkan rusaknya akidah dan perasaannya.
Meskipun
para ulama –sebagaimana yang disebutkan di atas- membolehkan melakukan
pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab, namun harus
diketahui bahwasanya mereka bersepakat juga tingkat kebolehannya itu berada
pada tingkatan Makruh. Yaitu ketika dikerjakan tidak mendapatkan apapun namun
ketika ditinggalkan mendapatkan pahala.[3]
Berikut rinciannya :
- Wanita Ahli Kitab Kafir Dzimmi[4]
- Jumhur Ulama yang terdiri dari Ulama Madzhab Hanafi, Madzhab Syafi’i, berpendapat makruh menikahi wanita Ahli kitab.
- Sedangkan Madzhab Hanbali berpendapat bahwasanya menikahi mereka itu menyelisihi amalan yang lebih utama (khilaf al-aula).[5]
- Wanita Ahli Kitab Kafir Harbi[6]
- Ulama Madzhab Hanafi berpendapat bahwasanya haram menikahi mereka jika mereka berada di negeri kafir (darul harbi), kerena bisa membuka pintu fitnah.
- Sedangkan menurut Madzhab Maliki dan Syafi’i hukumnya makruh
- Dan menurut Madzhab Hanbali hukumnya menyelisihi amalan yang lebih utama (khilaf al-aula).
Terlepas
dari perbedaan pendapat di atas, harus diperhatikan bahwasanya menikahi wanita
ahli kitab, terutama harbiyyahpada kenyataannya terdapat bahaya sosial, agama
dan negara. Antara lain :
-
Tidak
menutup kemungkinan mereka akan membocorkan rahasia ummat islam ke negara
asalnya.
-
Terdapat
kemungkinan anak-anak akan terpengaruh oleh akidah mereka dan adat-adat
non-muslim.
-
Menyebabkan
madharat bagi para muslimat. Karena jika banyak laki-laki muslim menikahi
wanita ahli kitab akan banyak muslimah yang tersia-siakan karena sedikit yang
menikahi mereka.
-
Terkadang
banyak dari para wanita ahli kitab yang akhlaqnya menyimpang, contohnya :
o
Al-Jasshas
meriwayatkan dalam tafsirnya bahwasanya Hudzaifah Ibnul Yaman menikahi wanita
Yahudi, lalu umar pun menulis surat kepadanya agar dia menceraikannya meskipun
alasannya bukan karena hal tersebut diharamkan tetapi khawatir wanita tadi
memiliki perangai buruk (bukan wanita baik-baik).
o
Di riwayat lain juga disebutkan jika alasan Umar
memerintahkan hal tersebut adalah khawatir nanti orang-orang islam lain banyak
yang mengikuti apa yang dilakukan oleh Hudzaifah. Sehingga banyak orang yang
menikahi wanita ahli kitab karena kecantikannya, sehingga mereka menjadi fitnah
bagi wanita muslimah, karena banyaknya laki-laki muslim yang lebih memilih
wanita ahli kitab dibandingkan wanita muslimah.[7]
Pendapat
Madzhab Syafi’i
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwasanya Madzhab Syafi’i
berpendapat sama dengan Jumhur Ulama tentang Makruhnya menikahi wanita ahli
kitab. Namun dalam Madzhab ini terdapat syarat-syarat sehingga hukumya menjadi
makruh, dalam artian ketika tidak memenuhi syarat tersebut maka hukumnya pun
akan berubah menjadi haram.
Syarat yang dimaksud adalah wanita ahli kitab tadi harus berasal
dari keluarga yang masuk ke dalam Yahudi atau Nasrani sebelum ajaran mereka
diselewengkan.
Artinya mereka harus berasal dari Ahli kitab yang tidak
menyelewengkan ajarannya. Jika dilihat
di kenyataan maka akan sangat sulit bahkan mustahil kita dapatkan ahli kitab
yang seperti ini. Sehingga secara tidak langsung madzhab Syafi’i mengharamkan
pernikahan dengan ahli kitab untuk konteks saat ini.[8]
Dan jika konteksnya sebagai orang Indonesia maka pendapat inilah
yang dipilih oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia) dan ditetapkan sebagai
keputusan Fatwa Nomor: 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 Tentang Perkawinan Beda Agama,
dimana isi dari fatwa itu menetapkan :
1.
Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah.
2.
Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita Ahlu Kitab, menurut qaul mu’tamad,
adalah haram dan tidak sah.[9]
(Bersambung
……)
[1] Dr. Wahbah
Az-Zuhaili, Al-Fiqhu Al-Islami wa Adillatuhu, jilid 9 hal. 6653
[2] Dr. Wahbah
Az-Zuhaili, Al-Fiqhu Al-Islami wa Adillatuhu, jilid 9 hal. 6654
[3] Sayyid Sabiq, Fiqih
Sunnah, jilid 2 hal 101
[4] Yang dimaksud
dengan kafir dzimmi adalah orang kafir yang tinggal di negara islam dan
mendapatkan perlindungan dari kaum muslimin.
[5] Yang dimaksud
dengan khilaf al-aula merupakan salah satu tingkatan makruh namun lebih
ringan dari makruh. Yaitu jika perbuatan ini dilakukan tidak berdosa, tetapi
jika dia meninggalkan perbuatan itu dan melakukan yang lebih utama (aula)
maka dia mendapatkan pahala. Contohnya meninggalkan amalan sunnah seperti
sholat dhuha itu hukumnya khilaf al-aula, tidak berdosa tetapi tidak
sampai pada tingkatan makruh.
[6] Yang dimaksud
dengan kafir harbi adalah orang kafir yang berasal dari negara kafir yang
memerangi ummat islam
[7] Dr. Wahbah
Az-Zuhaili, Al-Fiqhu Al-Islami wa Adillatuhu, jilid 9 hal. 6656
[8] Lihat : Mughni
Al-Muhtaj .jilid 3 hal. 187 dan seterusnya, Al-Muhaddzab jilid 3 hal. 187.
[9]
Lihat Fatwa Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 Tentang
Perkawinan Beda Agama


Tidak ada komentar:
Posting Komentar