Minggu, 27 Oktober 2013

APAKAH IMAM AHMAD BUKAN AHLI FIQIH ?

Madzhab Hanbali dalam kitab Bidayatul Mujtahid Ibnu Rusyd

B
agi para mahasiswa, pelajar, santri, dosen atau orang-orang yang konsen di bidang syari’ah khususnya fiqih tentu tidak asing dengan kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid karya Ibnu Rusyd  Al-Qurthubi (520-595 H). Kitab ini adalah termasuk kategori kitab fiqih perbandingan madzhab yang ditulis oleh salah seorang ulama’ dari madzhab Maliki di Andalus, tepatnya di Cordoba pada abad ke-6 Hijriyah.
Sebagaimana yang telah lazim kita ketahui bahwa dalam bidang fiqih, ada 4 madzhab fiqih yang sampai saat ini memiliki banyak pengikut, yaitu madzhab Hanafi, Maiki, Syafi’I dan Hanbali. Namun ada asumsi yang mengatakan bahwa Ibnu Rusyd jarang mengutip pendapat Imam Ahmad atau madzhab Hanbali dalam kitabnya.
Apakah asumsi ini benar? Jika benar apa yang menyebabkan hal ini ? apakah karena pada saat itu penyebaran madzhab hanbali di Cordoba kurang gencar ? atau apakah itu karena Ibnu Rusyd menganggap bahwa Imam Ahmad bukan termasuk ulama’ Fiqih ?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan mencoba untuk penulis carikan jawabannya di dalam artikel ini,

Benarkah Ibnu Rusyd Jarang menyebutkan pendapat madzhab Hanbaly ?
Sebelum menjawab pertanyaan inti, maka alangkah eloknya jika kita terlebih dahulu mengecek validitas pernyataan ini, yaitu apakah memang benar bahwa Ibnu Rusyd jarang menyebutkan madzhab hanbali dalam kitabnya ? ataukah itu hanya sebatas asumsi belaka ?
Dr. Muhammad Syarif Buluz dalam disertasi doktoralnya yang berjudul “Tarbiyah Malakah al-Ijtihad min Khilal Kitab : Bidayah Al-Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtashid” mengatakan :
"....وردت في الكتاب مادة أحمد بن حنبل/حنبلي/حنابلة 251 مرة،يضاف إلى ذلك ذكر أحد فقهاء المذهب مرتين وهو أبو بكر أحمد بن محمد بن هانئ المعروف بالأثرم صاحب السنن ( ف230هـ) ليصل العدد إجمالا إلى 253 مرة..."
“Dalam kitab ini Ibnu Rusyd menyebutkan pembahasan mengenai Ahmad bin Hanbal / Hanbaly / Hanabilah sebanyak 251 kali. Ditambah dengan menyebutkan salah satu Ulama’ madzhab sebanyak dua kali yaitu Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Hani yang terkenal dengan Al-Atsram pengarang kitab As-Sunan (wafat 230 H), maka jumlah keseluruhan sebanyak 253 kali.”
Salah satu contoh pendapat Imam Ahmad yang dikutip oleh Ibnu Rusyd dalam kitabnya adalah ketika beliau membahas tentang hukum mencuci tangan dan memasukkan ke dalam bejana sebelum memulai wudlu :
"....وفرق قوم بين نوم الليل ونوم النهار فأوجبوا ذلك في نوم الليل ولم يوجبوه في نوم النهار وبه قال أحمد
“..dan ada kelompok yang membedakan antara tidur malam dan tidur siang. Mereka berpendapat wajib berwudhu bagi yang tidur malam dan tidak mewajibkan bagi yang tidur siang, dan ini adalah pendapat dari Imam Ahmad….”
Selain itu juga ada pendapat-pendapat dari Imam Ahmad yang lain, yang disebutkan oleh Ibnu Rusyd dalam kitabnya, seperti pendapat beliau dalam masalah Talaq ini:
واختلفوا في سكنى المبتوتة ونفقتها إذا لم تكن حاملا على ثلاثة أقوال أحدها أن لها السكنى والنفقة وهو قول الكوفيين. والقول الثاني أنه لا سكنى لها ولا نفقة وهو قول أحمد وداود وأبي ثور وإسحاق وجماعة  .....
“…dan mereka berbeda pendapat dalam masalah wajibnya memberikan tempat tinggal dan nafkah bagi wanita yang ditalaq tiga (ba’in) jika dia tidak dalam keadaan hamil menjadi tiga pendapat :Pendapat pertama menyebutkan bahwa wajib memberikan tempat tinggal dan nafkah untuknya, ini adalah pendapat ulama Kufah. Adapun pendapat kedua mengatakan bahwa tidak wajib memberikan nafkah maupun tempat tinggal, dan ini adalah pendapat Ahmad, Dawud, Abu Tsaur, Ishaq dan sekumpulan ulama’ lain.”[1]

Juga ada pendapat beliau dalam masalah jual beli :
فاختلف العلماء لتعارض هذه الأحاديث في بيع وشرط ........ وقال أحمد البيع جائز مع شرط واحد وأما مع شرطين فلا
“Para Ulama berbeda pendapat karena terjadi pertentangan secara eksplisit antara hadits-hadits yang berkaitan dengan jual beli yang disertai  syarat…..Kemudian antaranya beliau menyebutkan pendapat Imam Ahmad :… .dan Imam Ahmad berpendapat bahwa jual beli dengan syarat itu hukumnya syah selama syaratnya tidak lebih dari satu, adapun jika lebih maka tidak sah…..”(Bidayah 2/160 (Mak.Syamilah))

Hal ini menunjukkan berarti Ibnu Rusyd juga memperhitungkan pendapat Imam Ahmad sebagai salah satu pendapat yang diakui dalam bidang fiqih. Maka asumsi yang mengatakan bahwa Ibnu Rusyd tidak menganggap bahwa Imam Ahmad adalah seorang faqih dengan demikian merupakan asumsi yang tidak memiliki dasar yang kuat dan perlu ditinjau ulang.
Namun, sebagaimana kita ketahui bahwa di dalam kitab tersebut Ibnu Rusyd juga menyebutkan pendapat-pendapat dari ulama lain. Yang menjadi pertanyaan adalah jika dibandingkan dengan madzhab lain, seberapa sering kah pendapat Imam Ahmad ini disebutkan oleh Ibnu Rusyd ?
Masih menurut Dr. Muhammad Buluz, beliau memaparkan secara detail prosentase pendapat yang disebutkan oleh Ibnu Rusyd dalam kitabnya, berikut ini :
“Jika tanpa menghitung pendapat dari para sahabat maka Madzhab Maliki adalah madzhab yang paling sering disebut pendapatnya, yang menapai 41 %. Urutan berikutnya adalah : Madzhab Syafi’I (20%), Madzhab Hanafi (19%), Madzhab Dhahiri (5%), Madzhab Hanbaly dan Sufyan At-Tsauri (masing-masing 3%) Abu Tsaur (2%), Auzâ’iy, Layts bin Sa’ad dan Ibnu Abi Lalilâ (masing-masing 1%),
Ibnul Mundzir (0.43%), Al-Qâsim bin Salâm (0.36%), Ibnu Syurumah dan At-Thabari (0.22%),Utsman Al-Buttî (0.21%), Ibnu Juraih (0.10%), Ibnul Mubarak (0.09%), Ibnu ‘Alyah (0.08%) Syuraik dan Madzhab Khawarij (0.05%) dan Syi’ah (0.01%)[2]
Dari pemaparan di atas, bisa kita lihat bahwa pendapat Imam Ahmad menempati peringkat ke-5 sebagai madzhab yang pendapatnya sering disebutkan Ibnu Rusyd dalam kitabnya. Itu artinya jika dibandingkan dengan madzhab besar lain seperti Maliki, Syafi’i dan Hanafy, prosentasenya masih terpaut jauh. Bahkan pendapat Madzhab Dhahiri lebih sering disebut dengan prosentase mencapai 5%, padahal madzhab ini sekarang sudah tidak ada lagi karena tidak ada pengikutnya.
Sehingga, sampai di sini bisa kita simpulkan bahwa memang Ibnu Rusyd jarang menyebut pendapat Imam Ahmad dalam kitabnya. Sebab, meskipun lebih dari 250 kali disebutkan, namun prosentasinya dibandingkan dengan madzhab besar lain masih jauh.

Faktor yang menyebabkan Ibnu Rusyd jarang menyebutkan madzhab hanbaly
Sebagaimana kita ketahui, bahwa setiap kitab pasti memiliki referensi dan rujukan yang dijadikan sebagai sumber informasi. Dan kitab Bidayatul Mujtahid ini tentunya memiliki banyak referensi dan rujukan, bukan hanya kitab fiqih saja, tetapi dari kitab-kitab hadits, dan lain-lain.
Salah satu referensi utama yang digunakan Ibnu Rusyd adalah kitab Al-Istidzkar, yang merupakan Syarah dari Muwattha’ Imam Malik. Kitab ini karya dari Ibnu Abdil Barr. Ibnu Rusyd secara eksplisit menjelaskan bahwa dalam menyebutkan perbedaan pendapat antara ulama, beliau mengikuti metode Ibnu Abdil Bar dalam kitabnya Al-Istidzkar.
Berikut ini perkataan beliau dalam akhir pembahasan Kitab Thaharah[3] :
....وأكثر ما عولت فيما نقلته من نسبة هذه المذاهب إلى أربابها هو كتاب الاستذكار وأنا قد أبحت لمن وقع من ذلك على وهم لي أن يصلحه والله المعين[4]
“…Kebanyakan yang aku jadikan patokan dalam menisbatkan pendapat madzhab-madzhab yang ada kepada para pemiliknya adalah berasal dari Kitab Al-Istidzkar, dan aku mempersilahkan kepada siapa saja yang meragukan apa yang aku sampaikan di sini untuk memberikan perbaikan. Semoga Allah senantiasa memberikan pertolongan-Nya.”
Untuk itulah pendapat-pendapat yang disebutkan Ibnu Rusyd dalam kitabnya sangat terpengaruh dengan pendapat yang disebutkan Ibnu Abdil Barr dalam Al-Istidzkar. Maka referensi yang dipakai oleh Ibnu Abdil Barr menggambarkan rujukan tdak langsung dari kitab Bidayatul Mujtahid.
Kitab Al-Istidzkar adalah kitab Syarah dari Muwattha’ Imam Malik. Kitab ini menjelaskan hadits-hadits dalam Muwattha’ dari sisi fiqih. Di sana disebutkan perbedaan pendapat para ulama’. Maka rujukan-rujukan yang digunakan pun langsung merujuk kepada kitab-kitab fiqih para ulama’.
Contohnya dari madzhab Maliki merujuk ke kitab Al-Mabsûth (Isma’il bin Ishaq Al-Qâdli), Al-Khilâf (Muhammad bi Khuwaiz), Fadlâilu Mâlik (Ad-Daulâbiy) dll. Dari madzhab Hanafi seperti kitab Al-Khilâf dan Al-Mukhtashar karya At-Thahâwi, Al-Imlâ’ karya Muhammad bin Hasan dll. Madzhab Syafi’i karya Al-Umm, Ar-Radd ‘alâ Mâlik dan Ikhtilâf Al-Hadits karya Imam Syafi’i.[5]
Adapun dari madzhab Hanbali beliau tidak merujuk ke kitab-kitab madzhab melainkan hanya kepada riwayat-riwayat saja, seperti apa yang disebutkan Al-Atsram dari Ahmad bin Hanbal, dan Ahmad bin Sa’id dari beliau juga. Juga riwayat Al-Kharqi dan Ishaq bin Manshur[6]
Untuk itulah wajar rasanya jika pendapat dari madzhab Hanbali jarang disebutkan mengingat referensi yang beliau gunakan hanya berasal dari riwayat dan tidak langsung merujuk ke kitab-kitab mereka langsung. Contohnya ketika beliau mengutip pendapat beliau dalam masalah waktu sholat jum’at :
...وعلى هذا جماعة فقهاء الأمصار الذين تدور الفتوى عليهم كلهم يقول إن الجمعة لا تصلى إلا بعد الزوال ، إلا أن أحمد بن حنبل قال من صلى قبل الزوال لم أعبه. قال أبو بكر بن أثرم قلت لأحمد بن حنبل يا أبا عبد الله ما ترى في صلاة الجمعة قبل الزوال فقال فيها من الاختلاف ما علمت ...
“…atas dasar ini maka para fuqaha’ Amshar -yang memiliki kapasitas untuk berfatwa- semua sepakat bahwa waktu untuk melaksanakan shalat jum’at harus dilaksanakan setelah matahari tergelincir, kecuali Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau berkata, “Aku tidak mencela orang yang shalat sebelum matahari tergelincir.” Abu Bakar bin Atsram bertanya kepada Imam Ahmad bin Hanbal, “Wahai Abu Abdillah, bagaimana pendapatmu jika shalat jum’at dilaksanakan sebelum matahari tergelincir?” Beliau berkata, “Sepanjang yang aku ketahui, terdapat perbedaan pendapat dalam masalah ini….” (Al-Istidzkar : 1/55)
Contoh lagi pendapat beliau dalam masalah apakah boleh menggabungkan zakat biji-bijian dari jenis yang berbeda agar mencapai satu nishab :
وكان أحمد بن حنبل ينهى عن ضم الذهب إلى الورق وضم الحبوب بعضها إلى بعض ثم كان في آخر عمره يقول فيها بقول الشافعي
 “…dan Imam Ahmad berpendapat bahwa menggabungkan antara emas dan uang kertas, atau menggabungkan biji-bijian (agar mencapai satu nishab) itu tidak boleh. Namun pada akhir hayatnya beliau merubah pendapatnya sama dengan pendapat Imam Asy-Syafi’i…” (Al-Istidzkar : 3/229)
Dari sini bisa kita ketahui bahwa Ibnu Abdil Barr juga mengakui pendapat-pendapat dari Imam Ahmad, dan memasukkannya sebagai salah satu pendapat dalam masalah fiqih. Secara tidak langsung ini menunjukkan bahwa Ibnu Abdil Barr mengakui kapasitas Imam Ahmad di bidang fiqih.
            Maka jelaslah sekarang apa yang menyebabkan Ibnu Rusyd jarang menyebutkan pendapat dari Imam Ahmad atau madzhab Hanbali dalam kitabnya, Bidayatul Mujtahid. Faktor utamanya adalah karena dalam menyebutkan pendapat madzhab beliau mengikuti metode Ibnu Abdil Barr dalam kitabnya Al-Istidzkar.
            Selain itu, persebarana madzhab Hanbali yang kurang gencar di wilayah Andalus juga bisa dijadikan sebagai salah satu faktor. Sebab sebagaimana disebutkan dalam pembahasan mengenai kehidupan ilmiah di wilayah Andalus, bahwa wilayah tersebut merupakan basis utama dari Madzhab Maliki yang tersebar berkat dukungan dari pemerintah. Selain itu di wilayah tersebut juga merupakan penyebaran madzhab Dhahiri yang juga sempat menjadi madzhab resmi pemerintah di sana.
            Demikianlah pembahasan mengenai permasalahan penyebutan madzhab imam Ahmad dalam kitab Ibnu Rusyd. Dalam kitab Bidayatul Mujtahid yang sudah ditahqiq oleh Majid Al-Hamawi, beliau menyebutkan permasalahan-permasalahan yang tidak disebutkan pendapat Imam Ahmad oleh Ibnu Rusyd. Buku ini diterbitkan oleh Daar Ibnu Hazm Li At-Thibaa’ah wa An-Nasyr – Beirut, Libanon Cetakan Tahun 1416.
==Wallahu A’lam bisshawâb==

           











[1] Bidayatul Mujtahid  : 2/92 (mak. syamilah)
[2] Tarbiyah malakah ijtihad min khilal kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, hal.107
[3] Al-Hamawi 1/173
[4] Bidayatul Mujtahid :1/64
[5] Tarbiyah 120-122: )
[6] Al-Istidzkar, Juz 1 / hal. 152, 501 dan 408. Juz 7, hal 390

Minggu, 15 September 2013

KEHUJJAHAN HADITS AHAD DALAM MASALAH AQIDAH DAN HUKUM FIQIH

Oleh : Tajun Nashr 

PENGERTIAN HADITS AHAD

Secara bahasa kata أحاد  adalah bentuk jama’ (plural) dari kata أحد yang bermakna satu,  maka secara bahasa hadits ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu orang.

Sedangkan pengertian hadits Ahad secara istilah adalah :
“Hadits yang tidak memenuhi salah satu atau seluruh persyaratan hadits mutawatir.”

Adapun persyaratan hadits mutawatir yang dimaksud adalah :
1.      Diriwayatkan oleh perawi yang jumlahnya cukup banyak
2.      Jumlah ini ada di setiap tingkatan sanad
3.      Mustahil secara adat mereka bersepakat untuk berbohong
4.      Cara penyampaian hadits melalui panca indra
Untuk itu maka setiap hadits yang tidak memenuhi persyaratan hadits mutawatir di atas maka bisa digolongkan menjadi hadits ahad.


FUNGSI HADITS AHAD
A.  Pengertian Dhanny dan Qath’iy
Sebelum membahas fungsi dari  hadits ahad maka ada baiknya terlebih dahulu kita bahas mengenai pengertian Qath’iy dan Dhanniy dalam dalil syar’i. Hal ini agar kita lebih mudah memahami fungsi dari hadits ahad tersebut.
1.      Secara Tsubutiyyah.
Secara penetapannya (tsubutiyyah), dalil syar’i dibagi menjadi dua macam :
Qath’iy Tsubut   : yaitu dalil yang bersifat pasti karena diriwayatkan dari banyak jalur.
Dhanny Tsubut : dalil yang masih ada kemungkinan tidak berasal dari Nabi karena jumlah perawinya yang hanya sedikit. Namun tingkat kemungkinan berasal dari nabi adalah 51-99%.
2.      Secara Dilalah.
Adapun dilihat dari segi maknanya (dilalah), maka dalil syar’i juga dibagi menjadi dua :
Qath’iy Dilalah : dalil yang menunjukkan pada makna tertentu yang dipahami dari dalil tersebut, serta tidak memiliki kemungkinan untuk ditakwilkan kepada makna selainnya.

Dhanniy Dilalah : dalil yang menunjukkan pada suatu makna tertentu tetapi bisa ditafsirkan ke dalam makna lain yang berbeda dari makna tersebut.

Selasa, 11 Juni 2013

PUASA WISHAL : BOLEH NGGAK SIH ??

Oleh :Tajun Nashr Ms.*)

Di suatu siang pada bulan Ramadhan, penulis pernah melewati beberapa warung kecil di pinggir jalan raya di sebuah kecamatan. Di situ ada sedikit pemandangan ‘menarik’, warung-warung kecil tersebut tidak membuka semua pintu dan jendela warungnya tetapi hanya membuka pintu sampingnya.

Di luar terlihat beberapa motor diparkir, dan di dalam juga terlihat beberapa orang yang ‘parkir’. Kira-kira mereka ngapain ya? Mungkin para pembaca bisa menebak sendiri. Di saat panas menyengat, mampir di warung kopi pada bulan puasa? Ah….

Para pembaca yang mulia, Ibadah puasa merupakan salah satu elemen penting dalam agama islam. Jika islam diibaratkan sebagai sebuah rumah, maka puasa itu ibarat dinding yang mengelilingi rumah tersebut. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Rasulullah dalam sabdanya mengenai puasa :
.. فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ ....
“…Karena puasa itu adalah benteng (bagimu).”[1]
Ya, puasa ibarat benteng kuat yang melindungi pemiliknya dari serangan-serangan dari luar, baik yang sifatnya jasmani maupun rohani. Karena puasa sendiri secara bahasa berarti menahan, maka dengan latihan menahan diri ini diharapkan pertahanan jiwa kita juga akan semakin kuat.

Artikel berikut ini akan membahas sedikit mengenai bagaimana para sahabat Nabi dalam menjalankan perintah dan syari’at dari Nabi. Dalam hal ini masalah puasa. Sangat berbeda 180 derajat bila dibandingkan dengan kondisi ummat islam saat ini.

Selasa, 02 April 2013

BUKAN MUHRIM APA BUKAN MAHRAM ?

Oleh : Tajun Nashr Ms.

D
alam suatu kesempatan penulis pernah mendengar ada seorang perempuan yang mengatakan kepada seorang laki-laki yang ingin berinteraksi dengannya, “Maaf mas, kita bukan muhrim jadi jaga jarak ya...”. Istilah ‘muhrim’ sering kita dengar dalam percakapan sehari-hari, yang digunakan untuk orang yang tidak boleh dinikahi baik karena sebab nasab ­dan lain-lain.

Namun ketika kita melihatnya dari segi bahasa maupun dari segi syari’ah apakah istilah ini sudah tepat ? kalau kita coba membuka-buka kamus bahasa Arab, akan kita temukan bahwa istilah Muhrim adalah bentuk fa’il dari kata (أَحْرَمَ - يُحْرِمُ) yang secara bahasa berarti ‘orang yang mengharamkan sesuatu’, namun dalam terminologi syari’at istilah ini dipakai untuk jama’ah haji yang masih berada dalam masa ihram.

Dari sini bisa kita simpulkan bahwa istilah ini kurang tepat untuk digunakan dan jauh sekali dari makna sebelumnya , namun sayangnya sudah menyebar luas seakan-akan memang itulah istilah yang tepat. Lalu apa istilah yang harus kita gunakan ?

Sebenarnya istilah yang tepat adalah Mahram (مَحْرَم) yang artinya orang yang haram dinikahi karena mempunyai hubungan sanak atau kerabat.[1] Para ulama’ fiqih memasukkan pembahasan masalah ini dalam bab Nikah.

Sebelum kita membahas lebih jauh mengenai permasalahan ini, marilah terlebih dahulu melihat dasar yang dijadikan sebagai patokan untuk menentukan orang-orang yang haram dinikahi.

Yang pertama adalah fitman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 23 yang artinya :
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan[281]; saudara-saudaramu yang perempuan, Saudara-saudara bapakmu yang perempuan; Saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang Telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang Telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki[282] (Allah Telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang Telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah Mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu Telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (An-Nisa : 23-24)

Kemudian yang kedua adalah hadits Nabi berikut ini :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ نَهَى أَنْ يُجْمَعَ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَعَمَّتِهَا ، وَبَيْنَ الْمَرْأَةِ وخَالَتِهَا
“Dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi melarang untuk mempoligami antara seorang wanita dan bibinya, baik dari pihak ayah maupun ibu.” (H.R. Al-Bukhari dan Muslim)

Dari dasar yang telah disebutkan di atas para ulama’ membagi mahram menjadi dua macam :
1.      Mahram Muabbad : Yaitu orang yang tidak boleh dinikahi selamanya.
2.      Mahram Muaqqath : Yaitu orang yang tidak boleh dinikahi sementara waktu, ketika dia berada dalam kondisi yang menghalaginya untuk dinikahi.

Sekarang kita akan membahas satu persatu dari dua jenis mahram yang telah disebutkan di atas.

Mahram Muabbad (Selamanya)
Ada tiga sebab utama yang menyebabkan seseorang haram untuk dinikahi selamanya, yaitu :

a.      Karena sebab Nasab atau kekerabatan
Yang termasuk golongan ini adalah :
1.      Garis keturunan ke atas (Ushul) , yaitu :
a.       Ibu
b.      Nenek, baik dari jalur ayah maupun jalur ibu. Ini berlaku untuk garis keturunan di atas nenek dan seterusnya
2.      Garis keturunan ke bawah (Furu’) , yaitu :
a.       Anak perempuan
b.      Cucu perembuan, baik dari anak laki-laki maupun dari anak perempuan. Ini juga berlaku untuk garis keturunan di bawah cucu dan seterusnya.
3.      Garis keturunan menyamping (Hawasiy) , yaitu :
a.       Saudara perempuan kandung
b.      Saudara perempuan satu ayah
c.       Saudara perempuan satu ibu
4.      Cabang dari garis keturunan menyamping (Furû’ Hawasiy), yaitu :
a.       Keponakan dari jalur saudara laki-laki
b.      Keponakan dari jalur saudara perempuan
5.      Garis keturunan di bawah kakek atau nenek (Hawasiy Ushul), yang termasuk adalah :
a.       Bibi, yaitu saudara perempuan ayah, baik saudara kandung, satu ibu maupun satu ayah
a.       Bibi, yaitu saudara perempuan ibu baik saudara kandung, satu ibu maupun satu ayah.

b.      Karena sebab Pernikahan
Ada tiga kelompok mahram yang haram dinikahi karena sebab ini, yaitu :
1.      Anak tiri dari istri yang sudah digauli. Namun jika suami tersbut belum melakukan hubungan suami istri dan menceraikan istrinya maka dia dibolehkan untuk menikahi anak tirinya.[2]
2.      Ibu mertua, nenek Istri dan garis keturunan di atasnya. Dalam hal ini tidak disyaratkan harus melakukan hubungan suami istri, melainkan cukup dengan akad nikah maka sudah menjadi mahram muabbad.
3.      Menantu, istri dari cucu dan garis keturunan di bawahnya
4.      Ibu tiri. Tanpa disyaratkan harus digauli terlebih dahulu oleh ayahnya, sehingga cukup hanya dengan diadakan akad nikah saja.

c.       Karena sebab Radlâ’ah ( Persusuan )
Yang diharamkan karena sebab persusuan ini sama dengan yang diharamkan karena sebab nasab. Artinya posisi Ibu persusuan disamakan dengan posisi ibu kandung dalam permasalahan ini.  Namun ada beberapa pengecualian yang akan lebih layak jika dibahas dalam permasalahan khusus mengenai Radlâ’ah.[3]

Mahram Muaqqat (Sementara)

Yang termasuk dalam golongan ini adalah :
1.      Mengumpulkan dua wanita yang memiliki hubungan kekerabatan, yaitu melakukan poligami terhadap dua perempuan bersaudara atau melakukan poligami terhadap seorang wanita dan bibinya, baik bibi dari pihak ayah maupun ibu. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam firman Allah dan hadits yang telah kami sebutkan di awal pembahasan.
2.      Wanita yang sedang menjadi Istri orang lain, sebagaimana tercamtum dalam ayat di atas.
3.      Menikahi wanita yang masih dalam masa ‘iddah
4.      Istri yang telah ditalak tiga, maka suaminya yang pertama tidak boleh menikahinya lagi kecuali setelah ada orang lain yang menikahinya dengan cara yang benar dan mentalaqnya (thalaq ba’in).
5.      Melaksanakan akad ketika sedang berihram
Hal ini sebagaimana hadits dari Utsman bin ‘Affan bahwa Rasulullah bersabda :
لَا يَنْكِحُ الْمُحْرِمُ وَلَا يُنْكِحُ وَلَا يَخْطُبُ (رواه مسلم ))
“Orang yang sedang berihram itu tidak boleh menikah atau menikahkan orang lain, atau melamar orang lain.” (H.R. Muslim)
6.      Menikah dengan budak perempuan padahal mampu menikahi wanita merdeka.
7.      Wanita Musyrik, sampai dia masuk islam. (Al-Fiqhu ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah)
8.      Menikahi wanita lebih dari empat[4]


Selain yang telah disebutkan di atas, ada beberapa permasalahan yang terjadi perbedaan pendapat ulama’, di antaranya adalah masalah zina, apakah zina merupakan sebab mahram mu’abbad ataukah muaqqath. Kemudian permasalahan orang yang ingin menikah dalam keadaan sakit menjelang kematiaannya, apakah dia dibolehkan ataukah tidak. Namun mengingat kesempatan yang terbatas maka pembahasan mengenai hal tersebut insyaallah akan kami ulas pada pembahasan tersendiri.

Dari pembagian sederhana di atas dapaat kita pahami bahwa selain yang disebutkan maka halal bagi kita untuk menikahinya. Maka jika kita kembali ke cerita awal, ketika seorang perempuan mengatakan kepada seorang laki-laki, “Ma’af, mas kita kan bukan mahram jadi harap jaga jarak ya...” Maka sebenarnya sang laki-laki layak optimis karena berarti dia punya peluang untuk menjadi pendamping sang perempuan tadi. Dan bisa saja sang laki-laki tersebut berkata kepada perempuan tadi, “Ya Mbak, saya faham koq, maka dari itu insyaallah saya siap berkunjung menemui ayah kamu.”

-Wallahu a’lam bisshawâb-


[1] Al-Mu’jam Al-Washîth. Hal. 169
[2] Dalam permasalahan ini ada perbedaan pendapat mengenai bolehya seorang laki-laki menikahi anak tiri yang dari wanita yang sudah digauli namun anak tersebut tidak sedang diasuh olehnya. Sebab perbedaannya karena perbedaan penafsiran kata (في حجوركم). Ada yang berpendapat bahwa ini adalah syarat, namun ada yang berpendapat bahwa ini hanyalah merupakan gambaran umum yang terjadi.
[3] Secara ringkas Sayyid Sâbiq, menyebutkan bahwa yang diharamkan karena sebab nasab ada 7, yaitu : Para Ibu, Para Anak, Para Saudara perempuan, Para Bibi dari pihak ayah, Para bibi dari pihak Ibu, Anak-anak Saudara laki-laki, Anak-anak Saudara perempuan
[4] Ibnu Rusyd membagi sebab mahram muaqqat beberapa sebab, di antaranya : Karena jumlah, Karena mengumpulkan, Perbudakan, Kekafiran, Ihram, Sakit, ‘Iddah, Thalaq tiga

 

Blogger news

Blogroll

About