Madzhab
Hanbali dalam kitab Bidayatul Mujtahid Ibnu Rusyd
|
B
|
agi para mahasiswa, pelajar, santri, dosen atau
orang-orang yang konsen di bidang syari’ah khususnya fiqih tentu tidak asing
dengan kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid karya Ibnu Rusyd Al-Qurthubi (520-595 H). Kitab ini adalah
termasuk kategori kitab fiqih perbandingan madzhab yang ditulis oleh salah
seorang ulama’ dari madzhab Maliki di Andalus, tepatnya di Cordoba pada abad
ke-6 Hijriyah.
Sebagaimana yang telah lazim kita
ketahui bahwa dalam bidang fiqih, ada 4 madzhab fiqih yang sampai saat ini
memiliki banyak pengikut, yaitu madzhab Hanafi, Maiki, Syafi’I dan Hanbali.
Namun ada asumsi yang mengatakan bahwa Ibnu Rusyd jarang mengutip pendapat Imam
Ahmad atau madzhab Hanbali dalam kitabnya.
Apakah asumsi ini benar? Jika benar
apa yang menyebabkan hal ini ? apakah karena pada saat itu penyebaran madzhab
hanbali di Cordoba kurang gencar ? atau apakah itu karena Ibnu Rusyd menganggap
bahwa Imam Ahmad bukan termasuk ulama’ Fiqih ?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan
mencoba untuk penulis carikan jawabannya di dalam artikel ini,
Benarkah Ibnu Rusyd Jarang menyebutkan
pendapat madzhab Hanbaly ?
Sebelum menjawab pertanyaan inti,
maka alangkah eloknya jika kita terlebih dahulu mengecek validitas pernyataan
ini, yaitu apakah memang benar bahwa Ibnu Rusyd jarang menyebutkan madzhab
hanbali dalam kitabnya ? ataukah itu hanya sebatas asumsi belaka ?
Dr.
Muhammad Syarif Buluz dalam disertasi doktoralnya yang berjudul “Tarbiyah
Malakah al-Ijtihad min Khilal Kitab : Bidayah Al-Mujtahid wa Nihayah
Al-Muqtashid” mengatakan :
"....وردت في الكتاب مادة أحمد بن حنبل/حنبلي/حنابلة 251
مرة،يضاف إلى ذلك ذكر أحد فقهاء المذهب مرتين وهو أبو بكر أحمد بن محمد بن هانئ
المعروف بالأثرم صاحب السنن ( ف230هـ) ليصل العدد إجمالا إلى 253 مرة..."
“Dalam kitab ini Ibnu Rusyd menyebutkan pembahasan mengenai
Ahmad bin Hanbal / Hanbaly / Hanabilah sebanyak 251 kali. Ditambah dengan
menyebutkan salah satu Ulama’ madzhab sebanyak dua kali yaitu Abu Bakar Ahmad
bin Muhammad bin Hani yang terkenal dengan Al-Atsram pengarang kitab As-Sunan
(wafat 230 H), maka jumlah keseluruhan sebanyak 253 kali.”
Salah satu contoh pendapat Imam
Ahmad yang dikutip oleh Ibnu Rusyd dalam kitabnya adalah ketika beliau membahas
tentang hukum mencuci tangan dan memasukkan ke dalam bejana sebelum memulai
wudlu :
"....وفرق قوم بين نوم الليل ونوم
النهار فأوجبوا ذلك في نوم الليل ولم يوجبوه في نوم النهار وبه قال أحمد
“..dan ada kelompok yang
membedakan antara tidur malam dan tidur siang. Mereka berpendapat wajib
berwudhu bagi yang tidur malam dan tidak mewajibkan bagi yang tidur siang, dan
ini adalah pendapat dari Imam Ahmad….”
Selain itu juga ada
pendapat-pendapat dari Imam Ahmad yang lain, yang disebutkan oleh Ibnu Rusyd
dalam kitabnya, seperti pendapat beliau dalam masalah Talaq ini:
واختلفوا
في سكنى المبتوتة ونفقتها إذا لم تكن حاملا على ثلاثة أقوال أحدها أن لها السكنى والنفقة
وهو قول الكوفيين. والقول الثاني أنه لا سكنى
لها ولا نفقة وهو قول أحمد وداود وأبي ثور وإسحاق وجماعة .....
“…dan mereka berbeda pendapat dalam
masalah wajibnya memberikan tempat tinggal dan nafkah bagi wanita yang ditalaq tiga
(ba’in) jika dia tidak dalam keadaan hamil menjadi tiga pendapat :Pendapat
pertama menyebutkan bahwa wajib memberikan tempat tinggal dan nafkah untuknya,
ini adalah pendapat ulama Kufah. Adapun pendapat kedua mengatakan bahwa tidak wajib
memberikan nafkah maupun tempat tinggal, dan ini adalah pendapat Ahmad, Dawud,
Abu Tsaur, Ishaq dan sekumpulan ulama’ lain.”[1]
Juga ada
pendapat beliau dalam masalah jual beli :
فاختلف
العلماء لتعارض هذه الأحاديث في بيع وشرط ........ وقال أحمد البيع جائز مع شرط واحد
وأما مع شرطين فلا
“Para Ulama berbeda pendapat karena
terjadi pertentangan secara eksplisit antara hadits-hadits yang berkaitan
dengan jual beli yang disertai syarat…..Kemudian antaranya beliau
menyebutkan pendapat Imam Ahmad :… .dan Imam Ahmad berpendapat bahwa jual
beli dengan syarat itu hukumnya syah selama syaratnya tidak lebih dari satu,
adapun jika lebih maka tidak sah…..”(Bidayah 2/160 (Mak.Syamilah))
Hal ini menunjukkan berarti Ibnu
Rusyd juga memperhitungkan pendapat Imam Ahmad sebagai salah satu pendapat yang
diakui dalam bidang fiqih. Maka asumsi yang mengatakan bahwa Ibnu Rusyd tidak
menganggap bahwa Imam Ahmad adalah seorang faqih dengan demikian merupakan
asumsi yang tidak memiliki dasar yang kuat dan perlu ditinjau ulang.
Namun, sebagaimana kita ketahui
bahwa di dalam kitab tersebut Ibnu Rusyd juga menyebutkan pendapat-pendapat dari
ulama lain. Yang menjadi pertanyaan adalah jika dibandingkan dengan madzhab
lain, seberapa sering kah pendapat Imam Ahmad ini disebutkan oleh Ibnu Rusyd ?
Masih menurut Dr. Muhammad Buluz,
beliau memaparkan secara detail prosentase pendapat yang disebutkan oleh Ibnu
Rusyd dalam kitabnya, berikut ini :
“Jika tanpa menghitung pendapat
dari para sahabat maka Madzhab Maliki adalah madzhab yang paling sering disebut
pendapatnya, yang menapai 41 %. Urutan berikutnya adalah : Madzhab Syafi’I (20%),
Madzhab Hanafi (19%), Madzhab Dhahiri (5%), Madzhab Hanbaly dan Sufyan
At-Tsauri (masing-masing 3%) Abu Tsaur (2%), Auzâ’iy, Layts bin Sa’ad dan Ibnu
Abi Lalilâ (masing-masing 1%),
Ibnul Mundzir (0.43%),
Al-Qâsim bin Salâm (0.36%), Ibnu Syurumah dan At-Thabari (0.22%),Utsman Al-Buttî
(0.21%), Ibnu Juraih (0.10%), Ibnul Mubarak (0.09%), Ibnu ‘Alyah (0.08%)
Syuraik dan Madzhab Khawarij (0.05%) dan Syi’ah (0.01%)[2]
Dari pemaparan di atas, bisa kita
lihat bahwa pendapat Imam Ahmad menempati peringkat ke-5 sebagai madzhab yang
pendapatnya sering disebutkan Ibnu Rusyd dalam kitabnya. Itu artinya jika
dibandingkan dengan madzhab besar lain seperti Maliki, Syafi’i dan Hanafy, prosentasenya
masih terpaut jauh. Bahkan pendapat Madzhab Dhahiri lebih sering disebut dengan
prosentase mencapai 5%, padahal madzhab ini sekarang sudah tidak ada lagi
karena tidak ada pengikutnya.
Sehingga, sampai di sini bisa kita
simpulkan bahwa memang Ibnu Rusyd jarang menyebut pendapat Imam Ahmad dalam
kitabnya. Sebab, meskipun lebih dari 250 kali disebutkan, namun prosentasinya
dibandingkan dengan madzhab besar lain masih jauh.
Faktor yang menyebabkan Ibnu Rusyd
jarang menyebutkan madzhab hanbaly
Sebagaimana kita ketahui, bahwa
setiap kitab pasti memiliki referensi dan rujukan yang dijadikan sebagai sumber
informasi. Dan kitab Bidayatul Mujtahid ini tentunya memiliki banyak referensi
dan rujukan, bukan hanya kitab fiqih saja, tetapi dari kitab-kitab hadits, dan
lain-lain.
Salah
satu referensi utama yang digunakan Ibnu Rusyd adalah kitab Al-Istidzkar, yang
merupakan Syarah dari Muwattha’ Imam Malik. Kitab ini karya dari Ibnu Abdil
Barr. Ibnu Rusyd secara eksplisit menjelaskan bahwa dalam menyebutkan perbedaan
pendapat antara ulama, beliau mengikuti metode Ibnu Abdil Bar dalam kitabnya
Al-Istidzkar.
Berikut
ini perkataan beliau dalam akhir pembahasan Kitab Thaharah[3]
:
....وأكثر
ما عولت فيما نقلته من نسبة هذه المذاهب إلى أربابها هو كتاب الاستذكار وأنا قد
أبحت لمن وقع من ذلك على وهم لي أن يصلحه والله المعين[4]
“…Kebanyakan yang aku jadikan patokan dalam menisbatkan pendapat
madzhab-madzhab yang ada kepada para pemiliknya adalah berasal dari Kitab
Al-Istidzkar, dan aku mempersilahkan kepada siapa saja yang meragukan apa yang
aku sampaikan di sini untuk memberikan perbaikan. Semoga Allah senantiasa
memberikan pertolongan-Nya.”
Untuk itulah pendapat-pendapat yang
disebutkan Ibnu Rusyd dalam kitabnya sangat terpengaruh dengan pendapat yang
disebutkan Ibnu Abdil Barr dalam Al-Istidzkar. Maka referensi yang dipakai oleh
Ibnu Abdil Barr menggambarkan rujukan tdak langsung dari kitab Bidayatul
Mujtahid.
Kitab Al-Istidzkar adalah kitab
Syarah dari Muwattha’ Imam Malik. Kitab ini menjelaskan hadits-hadits dalam
Muwattha’ dari sisi fiqih. Di sana disebutkan perbedaan pendapat para ulama’.
Maka rujukan-rujukan yang digunakan pun langsung merujuk kepada kitab-kitab
fiqih para ulama’.
Contohnya dari madzhab Maliki
merujuk ke kitab Al-Mabsûth (Isma’il bin Ishaq Al-Qâdli), Al-Khilâf
(Muhammad bi Khuwaiz), Fadlâilu Mâlik (Ad-Daulâbiy) dll. Dari madzhab
Hanafi seperti kitab Al-Khilâf dan Al-Mukhtashar karya At-Thahâwi,
Al-Imlâ’ karya Muhammad bin Hasan dll. Madzhab Syafi’i karya Al-Umm,
Ar-Radd ‘alâ Mâlik dan Ikhtilâf Al-Hadits karya Imam Syafi’i.[5]
Adapun dari madzhab Hanbali beliau
tidak merujuk ke kitab-kitab madzhab melainkan hanya kepada riwayat-riwayat
saja, seperti apa yang disebutkan Al-Atsram dari Ahmad bin Hanbal, dan Ahmad
bin Sa’id dari beliau juga. Juga riwayat Al-Kharqi dan Ishaq bin Manshur[6]
Untuk itulah wajar rasanya jika pendapat
dari madzhab Hanbali jarang disebutkan mengingat referensi yang beliau gunakan
hanya berasal dari riwayat dan tidak langsung merujuk ke kitab-kitab mereka
langsung. Contohnya ketika beliau mengutip pendapat beliau dalam masalah waktu
sholat jum’at :
...وعلى هذا جماعة فقهاء الأمصار الذين تدور الفتوى عليهم كلهم يقول
إن الجمعة لا تصلى إلا بعد الزوال ، إلا أن أحمد بن حنبل قال من صلى قبل الزوال لم أعبه. قال أبو بكر
بن أثرم قلت لأحمد بن حنبل يا أبا عبد الله ما ترى في صلاة الجمعة قبل الزوال فقال
فيها من الاختلاف ما علمت ...
“…atas
dasar ini maka para fuqaha’ Amshar -yang memiliki kapasitas untuk berfatwa- semua
sepakat bahwa waktu untuk melaksanakan shalat jum’at harus dilaksanakan setelah
matahari tergelincir, kecuali Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau berkata, “Aku tidak
mencela orang yang shalat sebelum matahari tergelincir.” Abu Bakar bin Atsram
bertanya kepada Imam Ahmad bin Hanbal, “Wahai Abu Abdillah, bagaimana
pendapatmu jika shalat jum’at dilaksanakan sebelum matahari tergelincir?”
Beliau berkata, “Sepanjang yang aku ketahui, terdapat perbedaan pendapat dalam
masalah ini….” (Al-Istidzkar : 1/55)
Contoh lagi pendapat beliau dalam
masalah apakah boleh menggabungkan zakat biji-bijian dari jenis yang berbeda
agar mencapai satu nishab :
وكان
أحمد بن حنبل ينهى عن ضم الذهب إلى الورق وضم الحبوب بعضها إلى بعض ثم كان في آخر عمره
يقول فيها بقول الشافعي
“…dan Imam Ahmad berpendapat bahwa
menggabungkan antara emas dan uang kertas, atau menggabungkan biji-bijian (agar
mencapai satu nishab) itu tidak boleh. Namun pada akhir hayatnya beliau merubah
pendapatnya sama dengan pendapat Imam Asy-Syafi’i…” (Al-Istidzkar : 3/229)
Dari sini bisa kita ketahui bahwa
Ibnu Abdil Barr juga mengakui pendapat-pendapat dari Imam Ahmad, dan
memasukkannya sebagai salah satu pendapat dalam masalah fiqih. Secara tidak
langsung ini menunjukkan bahwa Ibnu Abdil Barr mengakui kapasitas Imam Ahmad di
bidang fiqih.
Maka
jelaslah sekarang apa yang menyebabkan Ibnu Rusyd jarang menyebutkan pendapat
dari Imam Ahmad atau madzhab Hanbali dalam kitabnya, Bidayatul Mujtahid. Faktor
utamanya adalah karena dalam menyebutkan pendapat madzhab beliau mengikuti
metode Ibnu Abdil Barr dalam kitabnya Al-Istidzkar.
Selain
itu, persebarana madzhab Hanbali yang kurang gencar di wilayah Andalus juga
bisa dijadikan sebagai salah satu faktor. Sebab sebagaimana disebutkan dalam
pembahasan mengenai kehidupan ilmiah di wilayah Andalus, bahwa wilayah tersebut
merupakan basis utama dari Madzhab Maliki yang tersebar berkat dukungan dari
pemerintah. Selain itu di wilayah tersebut juga merupakan penyebaran madzhab
Dhahiri yang juga sempat menjadi madzhab resmi pemerintah di sana.
Demikianlah pembahasan mengenai
permasalahan penyebutan madzhab imam Ahmad dalam kitab Ibnu Rusyd. Dalam kitab
Bidayatul Mujtahid yang sudah ditahqiq oleh Majid Al-Hamawi, beliau menyebutkan
permasalahan-permasalahan yang tidak disebutkan pendapat Imam Ahmad oleh Ibnu
Rusyd. Buku ini diterbitkan oleh Daar Ibnu Hazm Li At-Thibaa’ah wa An-Nasyr –
Beirut, Libanon Cetakan Tahun 1416.
==Wallahu A’lam bisshawâb==


