Minggu, 27 Oktober 2013

APAKAH IMAM AHMAD BUKAN AHLI FIQIH ?

Madzhab Hanbali dalam kitab Bidayatul Mujtahid Ibnu Rusyd

B
agi para mahasiswa, pelajar, santri, dosen atau orang-orang yang konsen di bidang syari’ah khususnya fiqih tentu tidak asing dengan kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid karya Ibnu Rusyd  Al-Qurthubi (520-595 H). Kitab ini adalah termasuk kategori kitab fiqih perbandingan madzhab yang ditulis oleh salah seorang ulama’ dari madzhab Maliki di Andalus, tepatnya di Cordoba pada abad ke-6 Hijriyah.
Sebagaimana yang telah lazim kita ketahui bahwa dalam bidang fiqih, ada 4 madzhab fiqih yang sampai saat ini memiliki banyak pengikut, yaitu madzhab Hanafi, Maiki, Syafi’I dan Hanbali. Namun ada asumsi yang mengatakan bahwa Ibnu Rusyd jarang mengutip pendapat Imam Ahmad atau madzhab Hanbali dalam kitabnya.
Apakah asumsi ini benar? Jika benar apa yang menyebabkan hal ini ? apakah karena pada saat itu penyebaran madzhab hanbali di Cordoba kurang gencar ? atau apakah itu karena Ibnu Rusyd menganggap bahwa Imam Ahmad bukan termasuk ulama’ Fiqih ?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan mencoba untuk penulis carikan jawabannya di dalam artikel ini,

Benarkah Ibnu Rusyd Jarang menyebutkan pendapat madzhab Hanbaly ?
Sebelum menjawab pertanyaan inti, maka alangkah eloknya jika kita terlebih dahulu mengecek validitas pernyataan ini, yaitu apakah memang benar bahwa Ibnu Rusyd jarang menyebutkan madzhab hanbali dalam kitabnya ? ataukah itu hanya sebatas asumsi belaka ?
Dr. Muhammad Syarif Buluz dalam disertasi doktoralnya yang berjudul “Tarbiyah Malakah al-Ijtihad min Khilal Kitab : Bidayah Al-Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtashid” mengatakan :
"....وردت في الكتاب مادة أحمد بن حنبل/حنبلي/حنابلة 251 مرة،يضاف إلى ذلك ذكر أحد فقهاء المذهب مرتين وهو أبو بكر أحمد بن محمد بن هانئ المعروف بالأثرم صاحب السنن ( ف230هـ) ليصل العدد إجمالا إلى 253 مرة..."
“Dalam kitab ini Ibnu Rusyd menyebutkan pembahasan mengenai Ahmad bin Hanbal / Hanbaly / Hanabilah sebanyak 251 kali. Ditambah dengan menyebutkan salah satu Ulama’ madzhab sebanyak dua kali yaitu Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Hani yang terkenal dengan Al-Atsram pengarang kitab As-Sunan (wafat 230 H), maka jumlah keseluruhan sebanyak 253 kali.”
Salah satu contoh pendapat Imam Ahmad yang dikutip oleh Ibnu Rusyd dalam kitabnya adalah ketika beliau membahas tentang hukum mencuci tangan dan memasukkan ke dalam bejana sebelum memulai wudlu :
"....وفرق قوم بين نوم الليل ونوم النهار فأوجبوا ذلك في نوم الليل ولم يوجبوه في نوم النهار وبه قال أحمد
“..dan ada kelompok yang membedakan antara tidur malam dan tidur siang. Mereka berpendapat wajib berwudhu bagi yang tidur malam dan tidak mewajibkan bagi yang tidur siang, dan ini adalah pendapat dari Imam Ahmad….”
Selain itu juga ada pendapat-pendapat dari Imam Ahmad yang lain, yang disebutkan oleh Ibnu Rusyd dalam kitabnya, seperti pendapat beliau dalam masalah Talaq ini:
واختلفوا في سكنى المبتوتة ونفقتها إذا لم تكن حاملا على ثلاثة أقوال أحدها أن لها السكنى والنفقة وهو قول الكوفيين. والقول الثاني أنه لا سكنى لها ولا نفقة وهو قول أحمد وداود وأبي ثور وإسحاق وجماعة  .....
“…dan mereka berbeda pendapat dalam masalah wajibnya memberikan tempat tinggal dan nafkah bagi wanita yang ditalaq tiga (ba’in) jika dia tidak dalam keadaan hamil menjadi tiga pendapat :Pendapat pertama menyebutkan bahwa wajib memberikan tempat tinggal dan nafkah untuknya, ini adalah pendapat ulama Kufah. Adapun pendapat kedua mengatakan bahwa tidak wajib memberikan nafkah maupun tempat tinggal, dan ini adalah pendapat Ahmad, Dawud, Abu Tsaur, Ishaq dan sekumpulan ulama’ lain.”[1]

Juga ada pendapat beliau dalam masalah jual beli :
فاختلف العلماء لتعارض هذه الأحاديث في بيع وشرط ........ وقال أحمد البيع جائز مع شرط واحد وأما مع شرطين فلا
“Para Ulama berbeda pendapat karena terjadi pertentangan secara eksplisit antara hadits-hadits yang berkaitan dengan jual beli yang disertai  syarat…..Kemudian antaranya beliau menyebutkan pendapat Imam Ahmad :… .dan Imam Ahmad berpendapat bahwa jual beli dengan syarat itu hukumnya syah selama syaratnya tidak lebih dari satu, adapun jika lebih maka tidak sah…..”(Bidayah 2/160 (Mak.Syamilah))

Hal ini menunjukkan berarti Ibnu Rusyd juga memperhitungkan pendapat Imam Ahmad sebagai salah satu pendapat yang diakui dalam bidang fiqih. Maka asumsi yang mengatakan bahwa Ibnu Rusyd tidak menganggap bahwa Imam Ahmad adalah seorang faqih dengan demikian merupakan asumsi yang tidak memiliki dasar yang kuat dan perlu ditinjau ulang.
Namun, sebagaimana kita ketahui bahwa di dalam kitab tersebut Ibnu Rusyd juga menyebutkan pendapat-pendapat dari ulama lain. Yang menjadi pertanyaan adalah jika dibandingkan dengan madzhab lain, seberapa sering kah pendapat Imam Ahmad ini disebutkan oleh Ibnu Rusyd ?
Masih menurut Dr. Muhammad Buluz, beliau memaparkan secara detail prosentase pendapat yang disebutkan oleh Ibnu Rusyd dalam kitabnya, berikut ini :
“Jika tanpa menghitung pendapat dari para sahabat maka Madzhab Maliki adalah madzhab yang paling sering disebut pendapatnya, yang menapai 41 %. Urutan berikutnya adalah : Madzhab Syafi’I (20%), Madzhab Hanafi (19%), Madzhab Dhahiri (5%), Madzhab Hanbaly dan Sufyan At-Tsauri (masing-masing 3%) Abu Tsaur (2%), Auzâ’iy, Layts bin Sa’ad dan Ibnu Abi Lalilâ (masing-masing 1%),
Ibnul Mundzir (0.43%), Al-Qâsim bin Salâm (0.36%), Ibnu Syurumah dan At-Thabari (0.22%),Utsman Al-Buttî (0.21%), Ibnu Juraih (0.10%), Ibnul Mubarak (0.09%), Ibnu ‘Alyah (0.08%) Syuraik dan Madzhab Khawarij (0.05%) dan Syi’ah (0.01%)[2]
Dari pemaparan di atas, bisa kita lihat bahwa pendapat Imam Ahmad menempati peringkat ke-5 sebagai madzhab yang pendapatnya sering disebutkan Ibnu Rusyd dalam kitabnya. Itu artinya jika dibandingkan dengan madzhab besar lain seperti Maliki, Syafi’i dan Hanafy, prosentasenya masih terpaut jauh. Bahkan pendapat Madzhab Dhahiri lebih sering disebut dengan prosentase mencapai 5%, padahal madzhab ini sekarang sudah tidak ada lagi karena tidak ada pengikutnya.
Sehingga, sampai di sini bisa kita simpulkan bahwa memang Ibnu Rusyd jarang menyebut pendapat Imam Ahmad dalam kitabnya. Sebab, meskipun lebih dari 250 kali disebutkan, namun prosentasinya dibandingkan dengan madzhab besar lain masih jauh.

Faktor yang menyebabkan Ibnu Rusyd jarang menyebutkan madzhab hanbaly
Sebagaimana kita ketahui, bahwa setiap kitab pasti memiliki referensi dan rujukan yang dijadikan sebagai sumber informasi. Dan kitab Bidayatul Mujtahid ini tentunya memiliki banyak referensi dan rujukan, bukan hanya kitab fiqih saja, tetapi dari kitab-kitab hadits, dan lain-lain.
Salah satu referensi utama yang digunakan Ibnu Rusyd adalah kitab Al-Istidzkar, yang merupakan Syarah dari Muwattha’ Imam Malik. Kitab ini karya dari Ibnu Abdil Barr. Ibnu Rusyd secara eksplisit menjelaskan bahwa dalam menyebutkan perbedaan pendapat antara ulama, beliau mengikuti metode Ibnu Abdil Bar dalam kitabnya Al-Istidzkar.
Berikut ini perkataan beliau dalam akhir pembahasan Kitab Thaharah[3] :
....وأكثر ما عولت فيما نقلته من نسبة هذه المذاهب إلى أربابها هو كتاب الاستذكار وأنا قد أبحت لمن وقع من ذلك على وهم لي أن يصلحه والله المعين[4]
“…Kebanyakan yang aku jadikan patokan dalam menisbatkan pendapat madzhab-madzhab yang ada kepada para pemiliknya adalah berasal dari Kitab Al-Istidzkar, dan aku mempersilahkan kepada siapa saja yang meragukan apa yang aku sampaikan di sini untuk memberikan perbaikan. Semoga Allah senantiasa memberikan pertolongan-Nya.”
Untuk itulah pendapat-pendapat yang disebutkan Ibnu Rusyd dalam kitabnya sangat terpengaruh dengan pendapat yang disebutkan Ibnu Abdil Barr dalam Al-Istidzkar. Maka referensi yang dipakai oleh Ibnu Abdil Barr menggambarkan rujukan tdak langsung dari kitab Bidayatul Mujtahid.
Kitab Al-Istidzkar adalah kitab Syarah dari Muwattha’ Imam Malik. Kitab ini menjelaskan hadits-hadits dalam Muwattha’ dari sisi fiqih. Di sana disebutkan perbedaan pendapat para ulama’. Maka rujukan-rujukan yang digunakan pun langsung merujuk kepada kitab-kitab fiqih para ulama’.
Contohnya dari madzhab Maliki merujuk ke kitab Al-Mabsûth (Isma’il bin Ishaq Al-Qâdli), Al-Khilâf (Muhammad bi Khuwaiz), Fadlâilu Mâlik (Ad-Daulâbiy) dll. Dari madzhab Hanafi seperti kitab Al-Khilâf dan Al-Mukhtashar karya At-Thahâwi, Al-Imlâ’ karya Muhammad bin Hasan dll. Madzhab Syafi’i karya Al-Umm, Ar-Radd ‘alâ Mâlik dan Ikhtilâf Al-Hadits karya Imam Syafi’i.[5]
Adapun dari madzhab Hanbali beliau tidak merujuk ke kitab-kitab madzhab melainkan hanya kepada riwayat-riwayat saja, seperti apa yang disebutkan Al-Atsram dari Ahmad bin Hanbal, dan Ahmad bin Sa’id dari beliau juga. Juga riwayat Al-Kharqi dan Ishaq bin Manshur[6]
Untuk itulah wajar rasanya jika pendapat dari madzhab Hanbali jarang disebutkan mengingat referensi yang beliau gunakan hanya berasal dari riwayat dan tidak langsung merujuk ke kitab-kitab mereka langsung. Contohnya ketika beliau mengutip pendapat beliau dalam masalah waktu sholat jum’at :
...وعلى هذا جماعة فقهاء الأمصار الذين تدور الفتوى عليهم كلهم يقول إن الجمعة لا تصلى إلا بعد الزوال ، إلا أن أحمد بن حنبل قال من صلى قبل الزوال لم أعبه. قال أبو بكر بن أثرم قلت لأحمد بن حنبل يا أبا عبد الله ما ترى في صلاة الجمعة قبل الزوال فقال فيها من الاختلاف ما علمت ...
“…atas dasar ini maka para fuqaha’ Amshar -yang memiliki kapasitas untuk berfatwa- semua sepakat bahwa waktu untuk melaksanakan shalat jum’at harus dilaksanakan setelah matahari tergelincir, kecuali Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau berkata, “Aku tidak mencela orang yang shalat sebelum matahari tergelincir.” Abu Bakar bin Atsram bertanya kepada Imam Ahmad bin Hanbal, “Wahai Abu Abdillah, bagaimana pendapatmu jika shalat jum’at dilaksanakan sebelum matahari tergelincir?” Beliau berkata, “Sepanjang yang aku ketahui, terdapat perbedaan pendapat dalam masalah ini….” (Al-Istidzkar : 1/55)
Contoh lagi pendapat beliau dalam masalah apakah boleh menggabungkan zakat biji-bijian dari jenis yang berbeda agar mencapai satu nishab :
وكان أحمد بن حنبل ينهى عن ضم الذهب إلى الورق وضم الحبوب بعضها إلى بعض ثم كان في آخر عمره يقول فيها بقول الشافعي
 “…dan Imam Ahmad berpendapat bahwa menggabungkan antara emas dan uang kertas, atau menggabungkan biji-bijian (agar mencapai satu nishab) itu tidak boleh. Namun pada akhir hayatnya beliau merubah pendapatnya sama dengan pendapat Imam Asy-Syafi’i…” (Al-Istidzkar : 3/229)
Dari sini bisa kita ketahui bahwa Ibnu Abdil Barr juga mengakui pendapat-pendapat dari Imam Ahmad, dan memasukkannya sebagai salah satu pendapat dalam masalah fiqih. Secara tidak langsung ini menunjukkan bahwa Ibnu Abdil Barr mengakui kapasitas Imam Ahmad di bidang fiqih.
            Maka jelaslah sekarang apa yang menyebabkan Ibnu Rusyd jarang menyebutkan pendapat dari Imam Ahmad atau madzhab Hanbali dalam kitabnya, Bidayatul Mujtahid. Faktor utamanya adalah karena dalam menyebutkan pendapat madzhab beliau mengikuti metode Ibnu Abdil Barr dalam kitabnya Al-Istidzkar.
            Selain itu, persebarana madzhab Hanbali yang kurang gencar di wilayah Andalus juga bisa dijadikan sebagai salah satu faktor. Sebab sebagaimana disebutkan dalam pembahasan mengenai kehidupan ilmiah di wilayah Andalus, bahwa wilayah tersebut merupakan basis utama dari Madzhab Maliki yang tersebar berkat dukungan dari pemerintah. Selain itu di wilayah tersebut juga merupakan penyebaran madzhab Dhahiri yang juga sempat menjadi madzhab resmi pemerintah di sana.
            Demikianlah pembahasan mengenai permasalahan penyebutan madzhab imam Ahmad dalam kitab Ibnu Rusyd. Dalam kitab Bidayatul Mujtahid yang sudah ditahqiq oleh Majid Al-Hamawi, beliau menyebutkan permasalahan-permasalahan yang tidak disebutkan pendapat Imam Ahmad oleh Ibnu Rusyd. Buku ini diterbitkan oleh Daar Ibnu Hazm Li At-Thibaa’ah wa An-Nasyr – Beirut, Libanon Cetakan Tahun 1416.
==Wallahu A’lam bisshawâb==

           











[1] Bidayatul Mujtahid  : 2/92 (mak. syamilah)
[2] Tarbiyah malakah ijtihad min khilal kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, hal.107
[3] Al-Hamawi 1/173
[4] Bidayatul Mujtahid :1/64
[5] Tarbiyah 120-122: )
[6] Al-Istidzkar, Juz 1 / hal. 152, 501 dan 408. Juz 7, hal 390
 

Blogger news

Blogroll

About