Koalisi Ala Rasulullah
Marilah
kita kembali sejenak ke 14 abad yang lalu, lebih tepatnya beberapa tahun
sebelum perjalanan hijrah. Pada saat itu kondisi ummat islam di Makkah berada
dalam tekanan kafir Quraisy, khususnya pasca wafatnya ummul mu’minin, Khadîjah
bintu Khuwailid dan paman Nabi r, Abu Thâlib.
Maka siksaan yang diberikan oleh mereka pun semakin menjadi-jadi.
Singkat
cerita, sekembalinya Rasulullah r dari
Thâ’if dan mendapatkan penolakan bahkan lemparan batu dari penduduknya, maka
beliau pun memikirkan strategi lain guna menyelamatkan dakwah dan agama ini.
Akhirnya beliau pun memutuskan untuk meminta bantuan kepada kabilah-kabilah
arab yang datang ke Makkah di musim haji. Beliau berusaha memperkenalkan dan
menawarkan kepada mereka dakwah ini, dengan harapan mereka menerimanya,
kemudian beliau meminta
janji setia mereka untuk menolong serta memberikan perlindungan kepada beliau
dalam dakwahnya.
Di antara kabilah-kabilah tersebut adalah bani
‘Âmir bin Sha’sha’ah. Alasan Rasulullah r memilih kabilah ini adalah
karena mereka dikenal sebagai kabilah
yang memiliki armada perang yang besar dan memiliki kedudukan yang disegani.
Bahkan mereka adalah salah satu di antara 5 kabilah yang tidak pernah kalah
dalam peperangan, tidak menginduk ke kekerajaan tertentu serta tidak pernah
membayar pajak seperti Quraisy dan Khuzâ’ah.
Alasan
lain pemilihan bani ‘Âmir adalah karena adanya permusuhan antara mereka dan
bani Tsaqif yang telah mengusir Rasulullah r dari Tha’if. Sehingga diharapkan dengan
bergabungnya bani ‘Âmir akan bisa melindungi Rasulullah r dan
ummatnya dari bani Tsaqif yang menyerang Nabi r dari dalam. Proses negosiasi pun dilakukan, dengan ditemani oleh Abu Bakar maka
Rasulullah r pun memberikan penawaran kepada para pembesar
mereka tentang dakwah yang beliau emban.
Kemudian salah seorang dari mereka yang bernama
Baiharah bin Firâs berkata kepada kaumnya, “Demi Allah seandainya kita bersama dengan pemuda ini maka kita akan
bisa menguasai jazirah arab.” Lalu dia berkata kepada
Rasulullah r, “Jika kami telah membai’atmu dan bersedia
menolongmu, kemudian Allah memberikan kemenangan untukmu, apa yang akan kami
dapatkan? Apakah kami akan menjadi pemimpin setelah engkau?.” Ketika
melihat motivasi lain dari mereka maka Rasulullah r bersabda : “Aku tidak bisa menjanjikan
apa-apa kepada kalian, karena Allah memberikan kepemimpinan kepada siapa
saja yang Dia kehendaki.”
Mendengar hal tersebut maka Baiharah pun marah dan
mengatakan “Apakah jika nanti kami mempertaruhkan nyawa kami untukmu guna
menghadapi orang Arab, sehingga Allah memenangkanmu atas mereka, namun kemudian
kepemimpinan akan dipegang orang selain kami?! Jika demikian, maka kami sama
sekali tidak tertarik pada tawaranmu ini!” Maka mereka pun menolak
negosiasi tersebut.
Peristiwa
di atas menunjukkan kepada kita, bahwa Rasulullah r adalah seorang ahli politik dan strategi yang
handal. Ketika dakwah beliau menemui hambatan besar dan penghalang yang sulit
ditembus, maka beliau berusaha mencari jalan lain. Jalan yang beliau tempuh pun
bukan jalan sembarangan. Beliau berusaha menghadapi kekuatan dengan kekuatan.
Ketika kaum Quraisy bertindak sewenang-wenang terhadap kaum muslimin yang waktu
itu masih lemah dari segi kekuatan militer maka beliau pun berusaha membangun
kekuatan yang bisa mengimbangi kekuatan Quraisy.
Namun yang
patut kita perhatikan di sini adalah tentang betapa matangnya pertimbangan dan
betapa jauhnya pandangan Nabi r
untuk masa depan dakwah ini. Kita bisa melihat ketika ada indikasi dari bani ‘Âmir
bahwa ada motivasi mendapatkan kekuasaan di balik pertolongan yang mereka berikan,
maka beliau pun menjelaskan dengan gamblang bahwa beliau tidak bisa menjanjikan
hal ini kepada mereka.
Itu beliau lakukan karena hakikat
dari dakwah islamiyah ini adalah dakwah kepada Allah. Dan diantara syarat
pokok bagi orang yang percaya dan mau menolong agama ini adalah
harus ikhlash karena Allah dan mencari
ridlo-Nya. Inilah sebenarnya poin terpenting dari peristiwa ini.
Ya, Keikhlasan dan Pengharapan ridlo Allah
adalah salah satu syarat mutlak diterimanya amalan yang kita lakukan. Hal ini
karena tujuan yang diharapkan oleh seseorang berpengaruh terhadap usaha-usaha
yang dia lakukan untuk menggapainya.
Memang
tidak salah pernyataan yang mengatakan bahwa dengan memiliki kekuatan dan
kekuasaan, maka perjalanan dakwah ini akan menjadi semakin mudah, dan cita-cita
untuk menegakkan kalimat Allah di seluruh muka bumi akan semakin mungkin untuk
diwujudkan. Namun yang patut kita perhatikan adalah setiap orang yang sudah
berniat berjuang di jalan Allah tidak
boleh memberikan syarat bahwa dia harus mendapatkan jabatan atau keuntungan
duniawi tertentu. Karena dakwah ini adalah dakwah milik Allah, maka Allah lah
yang akan menentukan siapapun yang dikehendaki-Nya untuk ditempatkan di posisi
mana pun.
Ketika
sudah memasuki ajang dakwah, maka seorang da’i harus memulai niatnya untuk
mengharapkan ridlo Allah kemudian beramal untuk mengangkat panji-panjinya.
Karena ketika jabatan menjadi tujuan utama yang menyibukkannya, maka ini
merupakan pertanda bahaya yang mengisyaratkan bahwa ada polusi yang mengotori
kemurnian niatnya. Untuk itulah maka Yahya bin Mu’âdz Ar-Râzi berkata : “Tidak
akan beruntung orang yang tercium darinya bau kekuasaan.”
Beliau juga seakan
mengajarkan kepada para politisi sekarang tentang kaidah dalam bekerja sama
dengan kelompok lain (koalisi)
dalam rangka memperjuangkan syari’at Allah. Bahwa definisi politik itu
tidak hanya terbatas pada kesepakatan transaksional ‘kami dukung anda kami
dapat apa’.
Namun lebih dari itu, definisi dari politik atau dalam
bahasa Arabnya as-siyasah berarti seni mengelola negara dan masyarat.
Sebagai pengelola (manajer) tentunya harus tunduk pada pemilik barang yang
dikelola agar menghasilkan keuntungan bersama, bukan malah memanfaatkannya
untuk kepentingan pribadi.
Inilah salah satu prinsip politik yang diajarkan
islam, berawal dari langkah politik yang di landasi dengan keikhlasan inilah
akhirnya Allah memberikan kepada Rasulullah r pengganti dan penolong yang lebih baik dari
bani ‘Âmir. Ya, merekalah kaum Anshar yang telah berjanji setia
kepada Rasulullah r dan
mengorbankan semua yang mereka miliki di jalan Allah. Dan berawal dari Madinah
inilah akhirnya cahaya islam bisa memancar ke seluruh dunia.
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ
يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا.
“Sungguh pada diri
Rasulullah r itu terdapat suri tauladan yang baik bagi
kalian, yaitu bagi orang yang mengharapkan (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari
akhir, serta orang yang banyak mengingat Allah.” (Al-Aĥzâb : 21)
Referensi
:
1.
As-Sîrah
An-Nabawiyyah. Ibnu Hisyâm. Darut Taqwa – Madinah Al-Munawwarah :
2004.
2.
As-Sîrah
An-Nabawiyyah, ‘ardlu waqa’I’ wa tahlîl ahdâts. Dr. Ali
Muhammad Ash-Shallâbiy. Dâr Ibnu Hazm. Cetakan Pertama. Kairo : 2008

